![]()
Jemaah melaksanakan salat tarawih pertama Ramadhan 1422 Hijriah di Masjid Pusdai, Bandung, Jawa Barat, Senin (12/4).(Antara/Novrian Arbi.)
PADA puasa Ramadan, para ulama berbeda pendapat tentang waktu niatnya. Karenanya, jangan kaget jika ada yang berbeda dalam hal ini.
Menurut Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang, Jawa Timur, Husnul Haq dikutip dari NU Online, pendapat pertama diusung ulama salaf Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hambal, dan para pengikutnya menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari, yaitu antara terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Jika niat dilaksanakan di luar waktu tersebut, hukumnya tidak sah. Akibatnya, puasa pun juga tidak sah.
Mereka berpegang pada hadits riwayat Hafshah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak niat pada malam sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR Baihaqi dan Daruquthni). Hadits tersebut dengan jelas menegaskan kebatalan puasa bagi orang yang tidak berniat berpuasa malam.
Selain hadis, mereka juga berpedoman pada qiyas (analogi). Mereka menghiasi puasa Ramadhan dengan nazar, kafir, dan qadha yang bersifat wajib. Jika niat puasa nazar, kafarat, dan qadha harus dilakukan pada malam hari, demikian pula niat puasa Ramadhan.
Namun ada pendapat kedua yaitu Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan mulai terbenamnya matahari sampai pertengahan siang. Artinya, tidak wajib melakukan niat di malam hari. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala surat al-Baqarah ayat 187 yang berarti, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka merupakan pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Pada ayat tersebut, Allah memperbolehkan kaum Mukminin untuk makan, minum, dan bersenggama pada malam Ramadan sampai terbit fajar. Lalu setelah terbit fajar, Allah memerintahkannya berpuasa dimulai dengan niat terlebih dahulu. Dengan demikian, niat puasa tersebut terjadi setelah terbit fajar. Dapat disimpulkan bahwa niat puasa boleh dilakukan setelah terbit fajar, tidak harus di malam hari.
Mereka juga berpegang pada hadits Nabi Muhammad SAW, dari Salamah bin Al-Akwa radhiyallahu ‘anhu yang bersabda, “Pada hari Asyura Nabi Muhammad SAW kepadanya dan memberinya ketenangan, berpesan kepada seorang laki-laki dari suku Aslam untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa barangsiapa yang tidak berpuasa hendaknya berpuasa dan barangsiapa yang sudah makan hendaknya menuntaskan puasanya sampai malam tiba.(HR Muslim Nomor 1136)
Pada hadis di atas, Nabi shallallahu alaihi wasallam menganggap puasa orang yang tidak melakukan niat di malam hari Asyura’ hukumnya tetap sah. Padahal, saat itu puasa Asyura’ hukumnya wajib. Dengan demikian dapat dipahami bahwa niat puasa wajib tidak harus dilakukan di malam hari. (OL-14)

