Kamu di sini. Sungguh menyedihkan melihat apa yang sedang dibuat oleh mesin propaganda Partai Demokrat dan mungkin akan berhasil dijual. Pesannya bermuara pada “Perang adalah cinta”. Hal ini berarti pemerintahan Kamala akan sepenuhnya terlibat dalam strategi belanja militer yang lebih besar dengan mengorbankan jaring pengaman sosial dan infrastruktur dalam negeri.
Tentu saja, pendekatan ini terlihat seperti tahap akhir Uni Soviet, ketika Soviet dihadapkan pada keharusan bersaing dengan AS dan Tiongkok sebagai pihak yang bermusuhan/pesaing strategis. Kecuali pada saat itu, AS berhasil membina Tiongkok sementara Uni Soviet gagal mencoba meredakan ketegangan di perbatasan Tiongkok, sementara di sini, kami bekerja keras dan berhasil mendorong Rusia dan Tiongkok ke dalam saling mendukung yang cukup erat baik di bidang ekonomi maupun militer.
Oleh Peter Bloom, Profesor di Universitas Essex di Inggris. Buku-bukunya antara lain “Authoritarian Capitalism in the Age of Globalization” (2016), “The CEO Society”, dan yang terbaru “Guerrilla Democracy: Mobile Power and Revolution in the 21st Century.” Awalnya diterbitkan di Common Dreams
Upaya Partai Demokrat untuk mengasosiasikan kebijakan militeristik dengan kampanye yang berpusat pada harapan dan kegembiraan merupakan perpaduan yang berbahaya antara kemajuan dan kekuatan militer.
Dalam kampanye kepresidenan yang sudah bersejarah, yang menampilkan meningkatnya ancaman nasionalisme Kristen, upaya pembunuhan, dan pergantian calon presiden secara tiba-tiba, salah satu perkembangan yang paling tidak diperhatikan namun mengkhawatirkan adalah bagaimana Partai Demokrat semakin berupaya untuk mengasosiasikan kepentingannya dengan partai-partai politiknya. kebijakan militeristik dengan kampanye yang berpusat pada “harapan” dan “kegembiraan.” Langkah strategis ini, meskipun cerdas secara politik, menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai sifat kemajuan, peran kekuatan militer dalam membentuk politik global, dan masa depan demokrasi Amerika. Ketika Amerika Serikat bergulat dengan ancaman ekstremisme sayap kanan dan momok Trumpisme, penting untuk mengkaji secara kritis pendekatan Partai Demokrat terhadap keamanan nasional dan kebijakan luar negeri.
Penekanan Partai Demokrat pada harapan dan kegembiraan dalam pesan politiknya bukanlah hal baru. Kampanye Barack Obama pada tahun 2008, dengan poster ikonik “Harapan” dan pesan perubahan, menjadi preseden bagi pendekatan ini. Dalam menghadapi meningkatnya otoritarianisme dan ketidakstabilan global, Partai Demokrat telah menggandakan strategi ini, dengan menampilkan diri mereka sebagai penjaga demokrasi dan pertanda masa depan yang lebih cerah.
Namun narasi harapan dan kemajuan ini semakin terkait dengan komitmen untuk mempertahankan bahkan memperluas dominasi militer Amerika. Hal ini paling jelas terlihat dalam pidato penerimaan Wakil Presiden Kamala Harris, di mana ia dengan sempurna memadukan retorika aspirasional tentang melestarikan demokrasi dan mendorong peluang ekonomi dengan janji untuk memastikan bahwa Amerika Serikat tetap menjadi “kekuatan tempur yang kuat dan paling mematikan di dunia. ”
Penjajaran antara harapan dan militerisme menciptakan paradoks yang meresahkan. Di satu sisi, Partai Demokrat menampilkan diri mereka sebagai pendukung perdamaian, multilateralisme, dan kerja sama global. Di sisi lain, mereka terus mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang melanggengkan siklus konflik global dan mengalihkan sumber daya dari kebutuhan dalam negeri yang mendesak.
Ikatan mendalam Partai Demokrat dengan kompleks industri militer tidak dapat diabaikan ketika mengkaji posisi kebijakan mereka. Meskipun terdapat retorika mengenai penciptaan “ekonomi peluang” dan investasi pada program-program sosial, kenyataannya triliunan dolar terus mengalir untuk belanja militer. Alokasi sumber daya yang sangat besar ini tidak hanya menghalangi investasi nyata dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan namun juga memicu konflik dan ketidakstabilan global.
Berkembangnya pasar teknologi pengawasan secara global semakin memperumit gambaran ini. Ketika Amerika Serikat berupaya mempertahankan keunggulan teknologinya dalam kemampuan militer dan intelijen, Amerika Serikat secara bersamaan mengekspor teknologi ini ke sekutu dan mitranya di seluruh dunia. Perkembangan alat pengawasan ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai privasi, kebebasan sipil, dan potensi penyalahgunaan otoriter.
Penggabungan Militerisme yang Berbahaya dengan Kemajuan dan Demokrasi
Salah satu aspek yang paling memprihatinkan dari pendekatan Partai Demokrat adalah upaya untuk menghubungkan militerisme dengan konsep multilateralisme dan kerja sama global. Retorika ini, yang didukung oleh Presiden Biden dan para pendahulunya, menunjukkan bahwa militer yang kuat sangat penting untuk menjaga ketertiban internasional dan mempromosikan nilai-nilai demokrasi di luar negeri.
Namun, penggabungan ini mengabaikan realitas kompleks politik global dan dampak intervensi militer yang seringkali kontraproduktif, dimana dukungan sah terhadap rezim dapat berubah menjadi peluang yang menguntungkan bagi para pembuat senjata. Dengan menganggap kekuatan militer sebagai alat untuk mendorong demokrasi dan hak asasi manusia, Partai Demokrat berisiko melegitimasi intervensi yang pada akhirnya dapat melemahkan nilai-nilai tersebut.
Fokus untuk mempertahankan supremasi militer harus dibayar mahal, baik secara domestik maupun global. Di dalam negeri, anggaran pertahanan yang sangat besar mengalihkan sumber daya dari investasi penting di bidang pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan lingkungan. Kesalahan alokasi dana ini melanggengkan kesenjangan ekonomi dan menghambat upaya untuk mengatasi permasalahan sosial yang mendesak. Secara global, pendekatan kebijakan luar negeri AS yang mengutamakan militer sering kali menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Mulai dari destabilisasi di seluruh kawasan hingga terciptanya kekosongan kekuasaan yang memunculkan kelompok-kelompok ekstremis, rekam jejak intervensi militer Amerika sama sekali tidak positif.
Mungkin yang paling meresahkan adalah cara militerisme dinormalisasi dan bahkan dirayakan dalam wacana politik yang seolah-olah progresif. Dengan menghubungkan kekuatan militer dengan konsep harapan, kemajuan, dan kerja sama global, Partai Demokrat secara mendasar mengubah cara berpikir Amerika mengenai peran kekuatan dalam hubungan internasional. Proses normalisasi ini membuat semakin sulit untuk mempertanyakan atau menentang kebijakan militeristik. Ketika kritik terhadap pembelanjaan atau intervensi militer dibingkai sebagai penolakan terhadap “harapan” atau “kemajuan”, maka akan lebih mudah untuk meminggirkan suara-suara yang menyerukan kebijakan luar negeri yang lebih damai dan adil.
Penggunaan teknologi pengawasan sebagai alat keamanan lokal dan nasional di Amerika menimbulkan pertanyaan serius mengenai kesesuaian praktik ini dengan nilai-nilai demokrasi. Meskipun dianggap perlu untuk melindungi warga negara dari ancaman baik dari luar maupun dalam negeri, perluasan kemampuan pengawasan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kebebasan sipil dan hak privasi. Selain itu, ekspor teknologi pengawasan ke negara-negara lain, termasuk negara-negara dengan catatan hak asasi manusia yang dipertanyakan, melemahkan klaim Partai Demokrat sebagai pejuang demokrasi dan kebebasan. Kontradiksi antara retorika dan tindakan semakin mengikis kepercayaan terhadap sistem politik dan memperkuat sinisme terhadap motif sebenarnya di balik keputusan kebijakan luar negeri.
Meningkatnya Ancaman Militerisme yang “Berharap”.
Pendekatan Partai Demokrat terhadap militerisme menghadirkan bahaya unik dalam politik Amerika, yang sangat berbeda dengan sikap agresif yang sering dikaitkan dengan rekan-rekan mereka dari Partai Republik. Meskipun tokoh-tokoh seperti Trump dan kelompok sayap kanan kadang-kadang mengecam “perang tanpa akhir” – bahkan ketika mereka terus mendukung kompleks industri militer – Partai Demokrat telah menciptakan narasi yang mengaitkan militerisme dengan visi kemajuan global dan idealisme demokrasi.
Strategi retoris ini merupakan bentuk kemunafikan yang berbeda. Dengan menggambarkan intervensi militer dan pemeliharaan supremasi militer global sebagai komponen penting dalam melestarikan dan menyebarkan demokrasi di seluruh dunia, Partai Demokrat telah secara efektif mempersenjatai harapan. Mereka menampilkan militerisme bukan sebagai sebuah kejahatan yang perlu dilakukan, namun sebagai bagian integral dari visi yang optimis dan berwawasan ke depan bagi kemajuan domestik dan internasional.
Risikonya terletak pada bagaimana pembingkaian ini menormalisasi dan bahkan mengagung-agungkan aksi militer. Jika dikemas dalam bahasa harapan, demokrasi, dan kerja sama global, kebijakan-kebijakan yang melanggengkan konflik dan mengalihkan sumber daya dari kebutuhan sosial yang penting menjadi lebih cocok bagi kelompok progresif. Ketangkasan retoris ini memungkinkan Partai Demokrat untuk menerapkan kebijakan intervensionis sambil mempertahankan moral yang tinggi di mata para pendukungnya.
Lebih jauh lagi, militerisme yang “penuh harapan” ini menciptakan dikotomi yang salah: mendukung aksi militer atau meninggalkan perjuangan demokrasi global. Dengan menggabungkan kekuatan militer dengan nilai-nilai demokrasi, Partai Demokrat mempersulit upaya untuk membayangkan pendekatan alternatif dalam hubungan internasional dan penyelesaian konflik. Narasi ini secara efektif membungkam para kritikus, dan menggambarkan mereka sebagai orang yang pesimis atau isolasionis yang kurang percaya pada cita-cita Amerika.
Integrasi kebijakan militeristik ke dalam wacana kemajuan demokrasi juga mengaburkan konsekuensi nyata dari tindakan-tindakan tersebut. Ketika intervensi militer dibingkai sebagai langkah-langkah penting menuju dunia yang lebih damai dan demokratis, akan lebih mudah untuk mengabaikan dampak langsung dari intervensi tersebut yang merugikan manusia dan dampak destabilisasi jangka panjang. Retorika harapan bertindak sebagai tabir, menyembunyikan kenyataan pahit perang dan pendudukan di balik kedok niat yang mulia.
Pendekatan ini juga meningkatkan dukungan terhadap kompleks industri militer di antara mereka yang mungkin menjadi pengkritiknya. Dengan menyelaraskan pengeluaran militer dengan nilai-nilai progresif, Partai Demokrat menciptakan disonansi kognitif yang memungkinkan para pendukungnya menyelaraskan keinginan mereka untuk mencapai kemajuan sosial dengan investasi berkelanjutan pada senjata dan peperangan. Hal ini secara efektif memperluas basis dukungan terhadap kebijakan militeristik, sehingga membuat perubahan substantif terhadap pendekatan kebijakan luar negeri Amerika menjadi lebih menantang.
Pembenaran “pengharapan” Partai Demokrat terhadap militerisme merupakan bentuk propaganda yang canggih. Tiongkok menggunakan bahasa kemajuan dan demokrasi untuk melayani kepentingan kompleks industri militer, sambil menampilkan dirinya sebagai kekuatan demi kebaikan global. Pendekatan ini tidak hanya melanggengkan kebijakan-kebijakan yang merugikan namun juga merusak cita-cita yang mereka junjung tinggi, mengubah konsep-konsep seperti harapan, demokrasi, dan kemajuan menjadi alat untuk membenarkan dominasi militer.
Mengenali dan menghadapi strategi retoris ini sangat penting bagi siapa pun yang ingin menantang paradigma militerisme Amerika yang berlaku. Hal ini memerlukan kesediaan untuk mempertanyakan bahkan narasi-narasi yang sejalan dengan nilai-nilai kita dan untuk secara kritis mengkaji kesenjangan antara retorika yang penuh harapan dan kenyataan pahit dari aksi militer. Hanya dengan melepaskan aspirasi kita untuk dunia yang lebih adil dan demokratis dari mekanisme perang, kita dapat mulai membentuk pendekatan yang benar-benar progresif terhadap permasalahan global.
Membayangkan Kembali Keamanan dan Merebut Kembali Harapan
Saat kita menghadapi tantangan abad ke-21, mulai dari perubahan iklim hingga kesenjangan global, penting untuk memikirkan kembali pendekatan kita terhadap keamanan dan kemajuan. Harapan sebenarnya untuk masa depan bukan terletak pada mempertahankan dominasi militer namun pada mengatasi akar penyebab konflik dan ketidakstabilan.
Berinvestasi dalam diplomasi, pembangunan internasional, dan penyelesaian konflik dapat menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar dalam hal keamanan global dibandingkan dengan terus membangun kekuatan militer. Demikian pula, mengalihkan sumber daya ke bidang pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur berkelanjutan dapat menciptakan peluang ekonomi yang nyata dan meningkatkan taraf hidup jutaan orang Amerika.
Menantang narasi dominan militerisme sebagai kemajuan memerlukan upaya bersama dari organisasi masyarakat sipil, gerakan akar rumput, dan keterlibatan masyarakat. Dengan menyoroti dampak sebenarnya dari militerisme dan menyajikan visi alternatif bagi keamanan nasional dan kerja sama global, kelompok-kelompok ini dapat membantu mengubah wacana publik.
Upaya Partai Demokrat untuk mengasosiasikan kebijakan militeristik dengan kampanye yang berpusat pada harapan dan kegembiraan merupakan perpaduan yang berbahaya antara kemajuan dan kekuatan militer. Meskipun ancaman yang ditimbulkan oleh ekstremisme sayap kanan dan otoritarianisme global memang nyata, jawabannya tidak terletak pada melanggengkannya siklus militerisme dan konflik.
Harapan sejati untuk masa depan terletak pada menata ulang pendekatan kita terhadap keamanan nasional, kerja sama global, dan kemajuan ekonomi. Sebuah wadah di mana gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia dapat bersatu untuk saling mendukung dalam melawan dan menggantikan oligarki ekonomi dan politik secara lokal dan global. Dengan menantang normalisasi militerisme dalam wacana progresif dan menghadirkan visi alternatif untuk dunia yang lebih damai dan adil, kita dapat memperoleh kembali konsep harapan dari mereka yang menggunakannya untuk membenarkan perang dan pengawasan tanpa akhir.

